Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzohullah
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]
[I]. Nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
[Ulama besar dan Muhaddits Madinah Nabawiyah]
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dita : Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf (perbedaan pendpt) sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tdk menyebabkan pelaku keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah
Jawaban.
Ikhtilaf yg tdk mengeluarkan pelaku dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu, masalah-masalah yg dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu inilah yg masih bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yg ada diantara Ahlus Sunnah wal Jamaah tdk boleh disertai dgn ada rasa saling bermusuhan (saling menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka hrs tetap menjaga rasa saling mencintai dan menyaygi.
Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahuanhum, dimana mereka berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dgn itu, mereka radhiallaahu anhum tdk saling bermusuhan satu sama lain dgn sebab ikhtilaf tersebut. Setiap shahabat berpegang dgn ijtihad (pendpt) masing-masing. Mereka radhiallaahu anhum mengetahui bahwa orang yg benar dalam ijtihad akan mendpt dua pahala sedangkan orang yg salah dalam berijtihad ha mendpt satu pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yg artinya:
Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihad maka bagi dua pahala, dan jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihad maka bagi satu pahala
[II]. Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
[1]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily dita : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yg terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yg terjadi di Indonesia?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabat dan orang yg mengikuti petunjuk dan sunnah sampai hari kiaman, amma badu:
Sesungguh Kewajiban Seorang Muslim Adalah :
[a]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yg benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yg diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yg dilakukan dalam medan dakwah ataupun yg lainnya
Kewajiban seorang muslim -khusus penuntut ilmu-, yg pertama ialah mengetahui al-haq dgn dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syari yg bermanfaat untuk mengetahui yg haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalil serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yg jelas dan gamblang dalam masalah ini.
[b]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib bagi untuk bersabar terhadap ikhwan yg lain, serta tdk melakukan tindakan yg memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yg berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentu setiap mereka menginginkan yg haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yg lainnya. Kemudian jika dia mendpti salah seorang dari mereka bersalah, wajib bagi untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yg pertama ialah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
[c]. Kemudian dia menasehati pihak yg bersalah sambil berusaha semampu untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah peruntukan yg paling utama sebagaimana firman Allah:
“Arti : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yg menyuruh (manusia) memberi sedekah atau beruntuk maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia [An-Nisaa:114]
Maka kewajiban seorang muslim ialah untuk menjadi terwujud sebab perdamaian dan kunci kebaikan
[d]. Tidak melakukan tindakan yg menambah perpecahan dan perselisihan dgn menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan peruntukannya.
[e]. Bersikap wasath (netral) antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yg menghitung (membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkan kpd orang banyak, bahkan mungkin menganggap sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dgn pihak lain yg mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yg tdk membedakan antara yg haq dgn yg bathil. Maka selayak dia menjadi orang yg berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini ialah mudahanah, tapi maksud ialah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yg bersalah, juga menasehati pihak yg lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah
[f]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yg terjadi krn dia memandang dalam perselisihan itu terdpt fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia ialah ha untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
[g]. Jika dia melihat yg al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yg lain, krn inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yg terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- ialah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yg kita anggap insya Allah- setiap pihak yg berselisih menginginkan yg haq, khusus mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tdk setiap yg menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendptkannya, sebagaimana tdk setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang beruntuk kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali krn kurang pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendak kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yg menyeleweng dalam masalah aqidah dan yg lainnya, krn Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan diri agar tdk menjadi sebab bertambah perselisihan, bahkan sehrs dia menjadi sebab terjadi penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kpd Allah agar memberikan taufiq pada semua ….
[2]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily dita : “Fadilatus Syaikh,…kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yg diperbolehkan dan yg tdk diperbolehkan, maksud ialah: perselisihan yg tdk mengeluarkan orang yg berselisih tersebut dari lingkup ahlus sunnah..?
Jawaban:
“Perkara yg diperbolehkan perselisihan didalam ialah: Permasalahan yg diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yg diperselisihkan oleh sebagian orang yg menisbahkan diri kpd sunnah di dalam masalah-masalah yg ma’lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah “apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tdk?”, apakah yg melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini ialah perselisihan antara ahlus sunnah yg tdk mengakibatkan orang yg berselisih dihukumi sebagai ahlul bid’ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yg diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang “hukum orang yg meninggalkan shalat”, juga perselisihan mereka tentang “kafir tdk orang yg meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya” dan perselisihan mereka tentang “orang yg meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satu krn malas”, semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama ahlus sunnah, maka orang yg berpendpt dgn salah satu pendpt mereka tdklah dihukumi sebagai ahlul bid’ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendpt dari para ahli ijtihad, krn al-haq itu tdk mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma’af) pada ikhwah kita yg berpendpt dgn pendpt yg ada pendahulu dari salaf, inilah batasan perselisihan yg diperbolehkan
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tdk mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yg menisbatkan diri kpd sunnah berpendpt dgn sebagian pendpt ahlul bid’ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan ulama dan berusaha untuk mengetahui yg haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihad maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifati dgn “kurang ilmu”, tapi tdk mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, krn yg nama kesempurnaan ialah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba’ah. Mereka menginginkan yg haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendpt sesuai dgn sebagian pendpt ahlul bid’ah atau yg lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka ialah menyepakati ahlul bid’ah, ha saja mereka menygka bahwa itulah yg benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yg pu kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid’ah, krn mereka menginginkan yg haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam masalah ini ialah bahwa setiap orang yg berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahan tersebut dima’afkan -insya Allah, dan tdk boleh orang tersebut dinisbahkan kpd bidah, krn sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yg menyepakati sebagian pendpt ahlul bidah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yg berpendpt sesuai dgn pendpt sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dgn ahlul bidah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tdk dinisbatkan kpd bidah, krn mereka pada dasar diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yg hidup zaman sekarang khusus penuntut ilmu atau orang yg hidup di negara yg jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yg betul-betul fatal, yg mana kesalahan itu bukan dalam masalah yg diperselisihkan oleh ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan krn kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi krn mereka berijtihad untuk mengetahui yg haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentu merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendpt dalam rangka menghilangkan perselisihan.
[3]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily dita : Fadhilatus Syaikh, mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yg menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yg menyebabkan ishlah (perdamaian)!
Jawaban.
Hal-Hal Yang Menambah Perpecahan Adalah :
[a].Taashub (fanatik) yg tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu krn mengikuti hawa nafsu, baik itu krn fanatik tercela yg disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau krn benci pada pihak yg menyelisihinya, inilah fanatik yg menambah perpecahan.
[b].Oleh krn itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalan semata-mata krn Allah dan tdk memandang manusia krn status dan kedudukan yg akhir dia mengukur kebenaran dgn figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yg menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semesti dia hrs membela kebenaran dan orang yg berada diatas meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semesti hrs pula dia mencegah orang dzalim dari kedzoliman walaupun mulia dan tinggi kedudukannya
[c].Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara manusia khusus dalam perselisihan mrpk hal yg menambah perpecahan, kalian tentu tahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci qilla wa qoola, banyak berta dan membuang-buang harta Qilla wa qoola ialah banyak menukil perkataan antar manusia: Kata Fulan begini, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini, Fulan dikatakan begitu.. sehingga diapun menyibukkan waktu-waktu dgn perkataan ini. Maka inilah diantara sebab yg paling besar yg menyebabkan keras hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah perpecahan.
Maka kewajiban penuntut ilmu ialah menjaga lisannya, tdk memperbanyak menukil perkataan, tdk pula memperbanyak pembicaraan yg tdk ada manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah ialah menjauhi dan mengatakan: Tidak layak kita disibukkan dgn hal ini tapi sibukkan diri kita dgn menuntut ilmu dan hal-hal yg bermanfaat, kecuali jika (menukil perkataan itu) ada maslahat untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.
[d]. Jahil (bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yg berselisih terkadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yg haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq yaitu: tdk tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contoh jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yg tdk mengetahui al-haq dalam masalah yg diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yg bathil. Inilah yg dpt menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi krn jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yg mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang yg berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tdk tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan krn mereka tdk tdk tahu apa yg terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yg mengatakan: Kata Fulan begini kata Fulan begitu.. tentu seorang yg berilmu itu berbicara sesuai dgn berita yg disampaikan pada dia.
Maka sehrs bagi mereka yg menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tdk boleh dia menukil hal yg tdk pernah diperuntuk oleh orang tdk juga hal yg tdk pernah dikatakan oleh orang tersebut, tdk boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataannya, hrslah dia menukil perselisihan itu sesuai dgn kenyataannya. Dan jahil (tdk mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tdklah menjatuhkan derajat ulama, tdk pula merendahkan harkat mereka, krn mereka tdk tahu apa sebenar yg sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan (sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tdk tahu apa yg terjadi di negara tertentu , tapi datang sebagian penduduk dan menukil perkataan: Kata Fulan begini,kata Fulan begitu tentu orang alim itu berbicara sesuai dgn apa yg dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguh saya ha memutuskan sesuai dgn apa yg saya dengar
Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dgn apa yg dia dengar, maka selayak jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendak kita menukil sesuai dgn kenyataan sehingga menghasilkan hukum yg benar, krn seorang alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yg terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadi perselisihan.
Adapun Sebab-Sebab Perdamaian Adalah :
[a]. Niat yg jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua orang penengah yg mendamaikan suami-istri yg berselisih: Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kpd suami istri itu (An-Nisaa: 35), kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yg berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tdk diragukan lagi dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi pada niat jujur (benar), krn kejujuran niat itu mrpk salah satu sebab hilang perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yg Allah mudahkan dgn terjadi perdamaian
[b]. Doa untuk kebaikan ikhwah, yaitu mendoakan saudara-saudara kita dgn mengikhlaskan niat dalam berdoa agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran
[c].Menasehati pihak yg salah, kita katakan pada dia: Anda bersalah, maka kembalilah kpd al-haq, tapi ini bagi orang yg mampu melakukannya, adapun orang yg tak mempunyai kemampuan untuk menasehati maka tak ada kewajiban baginya
[d]. Menasehati pihak yg benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yg bersalah) krn merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dgn kamu bukan berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tdk menginginkan al-haq, tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan pada temannya: Kami tdk merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa, Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu ialah orang paling utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: (Mereka) ialah saudara-saudara kita, kita tdk merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa padahal beliau ialah orang yg paling utama mudah-mudahan Allah meridhoinya-.
Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: Kami tdk memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau, lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tdk saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudara menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah muamalah yg hrs dilakukan terhadap saudara-saudara kita.
[Risalah ini disusun oleh. Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah]