ENAM PERKARA PENTING DALAM AGAMA

Abu Fahmi Abdullah

Risalah Al-Hujjah No: 36 / Thn IV / Dzulqaidah / 1422H

Berikut adalah enam perkara penting dalam agama yang diambil dari kitab Al
Ushul As Shittah karya Syaikh Muhammad At-Tamimi yang disyarah oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin :
1. Ikhlas dalam agama dan melawan kemusyrikan
Ikhlas menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yaitu beribadah kepada
Allah semata-mata hanya untuk taqarub (mendekatkan diri) kepadaNya dan untuk
memperoleh apa yang ada disisiNya. Hal ini dilakukan dengan cara memurnikan
tujuan, cinta dan pengangungan hanya hanya kepada Allah juga memurnikan
seluruh apa saja yang bersifat lahir maupun batin dalam beribadah tidak
dikehendaki dan diharapkan dari semua itu kecuali hanya ridhaNya. Allah
berfirman:

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk
Allah, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan
diri (kepada Allah). [Qs. Al-An’am: 162-163]

Tauhid dan ikhlas ini telah diwujudkan oleh Rasulullah saw, kemudian beliau
bersih dari segala sesuatu yang bisa mengotorinya, tidak cukup itu saja
bahkan setiap yang membuka peluang untuk masuknya syirik maka beliau sumbat
rapat-rapat. Seperti larangan beliau kepada orang yang mengucapkan: “Atas
kehendak Allah dan kehendak Anda.” beliau bersabda: “Apakah kamu hendak
menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah?” tapi (ucapkan): “Atas kehendak
Allah saja!” Beliau juga melarang sumpah dengan selain Allah karena disitu
ada unsur pengagungan terhadap makhluk yang ia gunakan bersumpah. Sebagai
lawan dari tauhid dan ikhlas yaitu syirik, Allah berfirman: “Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” [An-Nisaa’: 36]

Oleh karena itu hendaklah kita berhati-hati dan waspada terhadap segala
bentuk kemusyrikan, baik itu yang besar (akbar) dan dapat menyebabkan
pelakunya keluar dari Islam, yang kecil (asghar) maupun yang tersembunyi
(khafiy).

2. Bersatu dalam agama dan tidak berpecah belah
Perkara ini diperintahkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah serta merupakan jalan
hidup para shahabat dan salafus shalih. Firman Allah:
“Dan berpenganglah kamu semua kepada tali agama Allah dan jangan kamu
bercerai-berai” [Qs. Ali Imran : 103]
Sabda Rasulullah: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, maka
tidak boleh salah satu menzhalimi yang lain, tidak pula merendahkan dan
menghinanya.” [HR. Bukhari].
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan yang saling
menguatkan antara satu dengan lain” [HR. Bukhari].
Demikian ajaran Rasulullah saw kepada umatnya agar saling mengasihi dan
mencintai serta melarang bermusuhan dan bercerai berai.

Memang para shahabat pernah berbeda pendapat, akan tetapi tidak menyebabkan
perpecahan, permusuhan dan saling benci karena hakikatnya mereka sama-sama
berjalan diatas hukum yang dicantumkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti
ketika Rasulullah saw selesai dari perang Ahzab Jibril as memerintahkan agar
segera ke Bani Quraidhah karena mereka melanggar perjanjian, maka Rasulullah
bersabda: “Kalian semua jangan shalat Ashar dulu, kecuali kalau sudah sampai
di Bani Quraidhah.” [HR. Bukhari].

Akhirnya mereka meninggalkan Madinah menuju Bani Qudraidhah dan bersamaan
dengan itu tiba waktu Ashar, maka sebagian sahabat ada yang shalat Ashar
dulu dan sebagian lagi ada yang tidak. Hal ini tidak dicela oleh Rasullah
dan dengan kasus ini para shahabt tidak lantas saling bermusuhan atau benci
antara satu dengan lain. Demikian pula para salafus shalih ketika berbeda
pendapat, selagi dalam masalah ijtihadiyah yang disitu berlaku hukum ijtihad
maka perbedaan itu tidak menyebabkan permusuhan dan lain benci, bahkan dalam
perbedaan yang sangat tajam sekalipun. Inilah salah satu kaidah pokok
Ahlussunnah dalam masalah khilafiyah.

Adapun perselisihan yang tidak bisa dikompromi adalah apa saja yang
menyelisihi shahabat dan tabi’in seperti dalam hal i’tiqad dan kenyakinan
yang mana sebelumnya tidak pernah ada dan munculnyapun setelah qurun
mufaddlalah (masa generasi terbaik)

3. Mendengar dan patuh kepada pemegang urusan kaum muslimin (ulil amri)
Ini sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya),
dan ulil amri diantara kamu.” [Qs. An-Nisaa’: 59]
Sedangkan dari hadits Rasulullah saw diantaranya adalah:
“Hendaklah kalian semua mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian
adalah seorang hamba habasyi” [HR. Al Bukhari]
“Barangsiapa yang melihat sesuatu (yang dibenci) pada imamnya maka hendaklah
ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari Al-Jama’ah
sejengkal saja, kemudian mati maka matinya dalam keadaan jahilliyah.” [HR.
Al Bukhari]

Akan tetapi ketaatan terhadap amir tidaklah mutlak, yaitu selagi ia tidak
menyuruh bermaksiat kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasul saw: “Wajib
seorang muslim untuk mendengar dan taat baik terhadap perkara yang ia sukai
maupun yang ia benci kecuali jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak boleh
mendengar dan tidak boleh taat.” [HR. Al Bukhari]

Dan yang dimaksud amir disini adalah bukan sebagaimana yang diklaim oleh
kelompok-kelompok yang ada saat ini. Mereka semua salah dalam menerapkan
hadits-hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan imamah, sehingga bukannya
bersatu tapi malah memperbanyak jumlah kelompok dan makin menceraiberaikan
umat.

4. Penjelasan tentang ilmu dan fuqahaa serta orang yang seperti mereka
padahal bukan
Ilmu yang dimaksud disini ialah ilmu syar’i yaitu pengetahuan tentang
apa-apa yang diturunkan oleh Allah berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk
yang diberikan kepada Rasulullah saw baik itu Al Kitab maupun Al Hikmah (As
Sunnah). Allah swt berfirman:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.” [Qs. Az-Zumar: 9]

Adapun selain ilmu syari’i jika itu untuk tujuan kebaikan maka itu baik naum
jika untuk tujuan yang buruk maka ia jadi buruk, dan jika tidak ada tujuan
apa-apa maka termasuk kategori menyia-nyiakan waktu. Ilmu memiliki banyak
keutamaan diantaranya adalah:


Bahwa orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah.

Ilmu adalah warisan para Rasulullah.

Ilmu akan tetap tinggal meskipun pemiliknya telah meninggal.

Salah satu iri yang dibolehkan adalah iri terhadap orang yang berilmu dan
mengamalkannya.

Ilmu merupakan cahaya untuk menerangi jalan kehidupan.

Orang alim ibarat lentera yang menerangi orang-orang disekitarnya.

Yang sangat ditekankan adalah bahwa kita harus tahu siapa sebenarnya ulama
dan fuqaha itu sebab ada juga orang-orang yang menyerupai ulama namun pada
hakekatnya adalah bukan. Mereka mencampuradukkan antara yang hak dan yang
batil dan pandai menghiasi perbuatan dan ucapannya sehingga kesesatan dan
kebid’ahan yang ia lakukan disangka oleh orang sebagai ilmu padahal bukan,
ibarat fatamorgana yang disangka air namum ternyata kosong dan semu belaka.

5. Mengenal wali-wali Allah yang sebenarnya
Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepadaNya, bertakwa dan
beristiqamah diatas agamaNya, Allah berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertaqwa”. [Qs. Yunus: 62-63]

Jadi jika seseorang itu beriman dan bertakwa kepada Allah maka dia adalah
waliNya. Bukan sebagaimana yang dinyakini sebagian orang bahwa wali adalah
orang yang maksum (terjaga dari dosa) dan ia mempunyai jalan (tharikat)
tersendiri yang langsung dari Allah, bukan syari’at yang dibawa oleh
Rasulullah saw, atau dengan kata lain bahwa wali Allah itu biasanya orangnya
nyeleh (tidak wajar). Maka tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini
tidak layak untuk disebut wali Allah, dan tidak pantas untuk mengaku bahwa
dirinya adalah wali. Allah yang lebih tahu siapa yang menjadi waliNya. Dan
yang pasti mereka adalah orang-orang yang selalu berpegang teguh kepada
kitabNya dan sunnah RasulNya.
Allah telah menjelaskan bahwa tingkatan hambaNya yang diberi nikmat dimulai
dari Rasululliahyyin (para Rasulullah), Shiddiqin (jujur dan benar imannya),
syuhadaa (para syahid) kemudian shalihin (orang shalih), mereka semua ini
adalah wali-wali Allah berdasarkan kesepakatan salafus shalih.

6. Melawan shubhat yang ditanamkan syetan untuk menjauhkan kita dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah
Yaitu mereka bisikkan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya boleh dipelajari
oleh orang yang mencapai derajat mujtahid mutlak setingkat Abu Bakar atau
Umar radhiyallahu anhuma. Jikalau seseorang mempelajarinya maka akan jadi
kafir atau zindik. Alhamdulillah syubhat ini dengan pertolongan Allah telah
dijawab oleh para ulama dengan meletakkan dasar dan syarat-syarat dalam
ijtihad serta penjelasan dari mereka tentang tidak bolehnya sesorang untuk
taklid buta, namun hendaknya setiap orang berusaha untuk mengkaji Al-Qur’an
dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar.

Adapun taklid dibolehkan jika seseorang memang benar-benar awam tidak tahu
menahu dan tidak bisa memahami suatu hukum atau sebenarnya mampu namun
mengalami kesulitan yang sangat besar maka ia boleh taklid dalam bab yang
tidak mampu memahaminya
Wallahu a’lam bis shawab.

Maraji’: Al Ushul As Shittah (Syaikh Muhammad At-Tamimi)
Syarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
SELAMAT DATANG, SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA DAN KAUM MUSLIMIN YANG LAINNYA, TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA