Di antara sifat seorang mukmin dan salah satu karakter orang yang bertaqwa adalah dia beriman, berkeyakinan tentang adanya hal-hal yang ghaib yaitu membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan tidak bisa dicapai oleh akal manusia, akan tetapi hanya diketahui berdasarkan wahyu yang diterima para Nabi dan Rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3). Ahlus Sunah wal Jama’ah juga berkeyakinan bahwa pengetahuan terhadap yang ghaib termasuk hal yang menjadi rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-Nya yang paling khusus, yang tidak satu makhluk-pun dapat menyamai-Nya, sebagaimana firman-Nya, Artinya : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)". (QS. Al-An’am: 59).
Berdasarkan firman Allah di atas, maka barangsiapa yang berkeyakinan bahwa dirinya atau orang lain boleh menguasai atau mengetahui perkara ghaib berarti ia telah kufur, karena hal ini tidak pernah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada siapa pun; tidak kepada para malaikat yang dekat dan tidak juga kepada para rasul yang diutus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya: “Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”. (QS. An-Naml: 65)
Dan firman-Nya, artinya:
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.". (QS. Al-An’am: 50).
Adapun perkara-perkara yang ghaib yang dikhabarkan oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, mengkhabarkan kepada ummatnya tentang tanda-tanda hari kiamat, tentang adanya surga dan neraka, adanya adzab dan nikmat kubur, serta Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang leher jin Ifrit ketika beliau diganggu oleh Jin tersebut di dalam shalatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dan hal-hal ghaib lainnya, maka yang demikian, tiada lain sebagai salah satu tanda kenabian dan keistimewaan bagi beliau, dan merupakan wahyu ilahi, sebab beliau tidak bertutur kata melainkan berdasarkan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)
Namun sangat disayangkan di antara kaum Muslimin masih banyak yang percaya kepada cerita-cerita khurafat, mistik, dan cerita-cerita syirik jahiliyah. Misalnya keyakinan bahwa ada di antara manusia yang dapat mengetahui perkara yang ghaib, bisa mengetahui nasib seseorang, mengetahui peristiwa yang akan datang, bisa melakukan penerawangan dan bahkan mengaku bisa melihat makhluk-makhluk ghaib seperti Jin. Fenomena demikian sering kita dapati di sekitar kita dapati di sekitar kita, apalagi dengan adanya sekian banyak bentuk tayangan media cetak, ataupun elektronik yang menggambarkan demikian, dan hal itu justru memperparah dan seolah-olah telah melegitimasi bahwa yang demikian adalah benar, padahal justru sebaliknya. Keyakinan-keyakinan yang ada merupakan keyakinan yang menyimpang yang sangat membahayakan aqidah seorang muslim.
Pada dasarnya yang mereka lakukan itu hanyalah tipu daya jin dan propaganda syaithan untuk menggiring kaum muslimin agar jauh dari tuntunan al Qur’an dan as-Sunnah, kemudian terjerumus ke lembah ke syirikan dan terkubur ke dalam lumpur kekufuran. Karena hal ini merupakan perbuatan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal yang menjadi kekhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui hal-hal ghaib.
Dengan demikian klaim seseorang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga mereka menjalani aktivitas hidupnya berdasarkan saran-saran yang disampaikan oleh sang pendusta tukang ramal dan sebangsanya, padahal dia pada dasarnya tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudharat kepada siapapun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya: Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (Qs. Al-A’raf: 188)
Jika nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak mengetahui hal-hal yang ghaib selain yang diwahyukan kepadanya, bahkan dengan terus terang beliau menafikan yang demikian itu atas dirinya, maka bagaimana dengan orang-orang selain beliau? Tentu mereka pasti lebih tidak tahu. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak daripada mereka.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukan dari golongan kami, orang yang menentukan nasib sial dan mujur berdasarkan tanda-tanda benda, burung ( dan lain-lainnya), yang bertanya dan yang menyampaikannya atau yang bertanya kepada dukun dan yang mendukuninya, atau yang menyihir dan meminta shiri untuknya, dan siapa yang mendatangi kahin (dukun dan sejenisnya) lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (murtad dari Islam).” (HR. Al-Bazzar dengan sanad yang bagus).
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mendatangi ‘arraaf (tukang tenung/peramal) dan menanyakan sesuatu kepadanya maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim).
Dalam redaksi yang lain beliau bersabda,
“Siapa yang mendatangi ‘arraf (peramal) atau kahin (dukun) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Sunan Empat, dan dishahihkan oleh al-Hakim).
Dari hadits-hadits yang mulia ini, menunjukkan larangan mendatangi kahin (dukun), ‘arraf (peramal) atau sejenisnya dalam bentuk apa pun ; Larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal ghaib; Larangan mempercayai dan membenarkan apa yang mereka katakan, serta ancaman bagi mereka yang melakukannya. Ini semua karena mengandung bahaya dan kemungkaran yang sangat besar, dan berakibat negatif yang sangat besar pula, disebabkan mereka telah melakukan kedustaan dan dosa.
Oleh karena itu seorang muslim tidak dibenarkan mendatangi mereka dan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang kecintaan dan kesetiaan, dan lain sebagainya. Karena ini berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapapun kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar kaum muslimin terpelihara dari tipu daya setan jin dan manusia dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap mereka, sehingga terjaga dari kejahatan mereka dan segala praktek keji yang mereka lakukan.