Nggak terasa perjalanan hidup kita di tahun 200 ini tinggal menghitung detik aja. Itu dihitung saat artikel di buletin kesayangan kamu ini terbit pada akhir bulan Desember 2007. Sebenarnya hitungan tahun itu sekadar untuk ukuran. Bisa ditentukan aturan pengukurannya sama kita sendiri sebagai bahan untuk membuat target dan program dalam jangka waktu tertentu. Misalnya sedetik, semenit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu windu, satu dasawarsa, satu abad, satu milenium. Selain membuat target dan program, tentunya ukuran waktu tersebut sebagai bahan evaluasi diri dan perjalanan hidup kita. Nah, ngomong-ngomong soal tahun baru masehi yang senantisa dirayakan dengan sangat meriah, kadangkala bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekadar merayakan pergantian tahun: old and new. Haruskah kita merayakan pergantian tahun tersebut? Padahal, isinya tak jauh dari “itu-itu” juga: kumpul bareng dengan keluarga, atau bersama komunitas yang kita buat, atau rame-rama membaur dengan masyarakat pada umumnya di tempat tertentu sambil menikmati makanan dan hiburan. Termasuk melanggengkan tradisi niup terompet pas detik jarum jam yang disepakati sebagai penanda awal dan akhir tahun tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00”.
Idih, apa enaknya kayak gitu? Cuma hiburan sesaat, suka-suka sejenak, setelah itu esok hari kita stres lagi dihadapkan pada langkanya minyak tanah, pada nasib diri yang tak kunjung membaik, pada semua harga-harga yang makin tak terbeli, pada banjir yang menenggelamkan kota, pada tanah longsor yang siap mengubur dan pada semua beban hidup yang mendera. Maklumlah, jaman sekarang lagi krisis kayak gini kalo sampe hura-hura keterlaluan banget! Iya nggak sih?
Belum lagi kalo kita ngomongin hukum merayakan pergantian tahun baru masehi, boleh apa nggak, haram apa nggak bagi kaum muslimin. Iya kan? Kita harus tahu. Malu atuh ama jenggot yang tumbuh di mana-mana (eh, jenggot kan cuma tumbuh di bawah dagu ya?). Iya, maksudnya udah gede tapi nggak tahu aturan syariat kan kayaknya gimana gitu? Nggak layak, gitu lho! Sori ini bukan merendahkan, tapi sekadar nyindir bin nyentil aja. Supaya kamu yang belum tahu terpacu untuk belajar. Setuju kan?
Hukum merayakan tahun baru masehi
Nah, sebelum membahas lebih lanjut, saya sengaja menempatkan subjudul ini lebih dulu ketimbang tema lain. Iya, ini supaya kita sebagai muslim bisa berhati-hati sebelum melakukan perbuatan. Sebab, berdasarkan kaidah fiqih dalam ajaran agama kita, bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara (sayriat Islam). Itu sebabnya, sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang dibolehkan, diwajibkan, disunnahkan, diharamkan atau dihukumi sebagai makruh.
Lalu apa hukumnya merayakan tahun baru masehi bagi seorang muslim? Jawaban singkatnya adalah SSTBAH alias sangat sangat tidak boleh alias haram. Titik.
Duh, kok saklek banget sih? Oke, kalo kamu pengen tahu sebabnya, gaulislam mo ngasih bocorannya nih. Bahwa merayakan tahun baru masehi adalah bukan tradisi dari ajaran Islam. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri larut dalam gemerlap pesta kembang api atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat tetap aja nggak lantas menjadikan tuh perayaan jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukanlah banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.Oke?
So, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya gini nih, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ‘memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi)
Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.
Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua—ini bukan munafik maksudnya, tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakan, depan bisa belakang bisa, kali ye?). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.
Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nasrani. Jangankan yang udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya serta dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Why?
Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman Allah Swt.: “
وَالَّذÙينَ لاَ يَشْهَدÙونَ الزّÙورَ
“Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu” (QS al-Furqaan [25]: 72)
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Ulama-ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Itu artinya, kalo sampe seorang muslim merayakan tahun baru masehi berarti melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, kita udah punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik ra, dia berkata, saat Rasulullah saw. datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?” Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah". Lantas beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul Fithri" (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210)
Terus, boleh nggak sih kita merayakan tahun baru karena niatnya bukan menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nasrani? Ya, sekadar senang-senang aja gitu, sekadar refreshing deh. Hmm.. ada baiknya kamu menyimak ucapan Umar Ibn Khaththab: “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640) Umar ra. berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" (ibid, No. 18641) Dalam keterangan lain, seperti dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akandikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka” ('Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512)
Nah, berkaitan dengan larangan menyerupai suatu kaum (baik ibadahnya, adat-istiadanya, juga gaya hidupnya), Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya jilid II, hlm. 50)
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybihberarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya.
Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka. Hmm.. catet ye!
Tahun baru, dosa baru?
Waduh, masa’ sih kita memulai bilangan tahun dengan dosa baru? Apalagi untuk dosa lama aja kita belum pernah melakukan tobatnya, tapi udah bikin dosa baru. Keterlaluan abis deh kalo sampe punya cita-cita seperti itu. Tapi kenyataannya, ternyata banyak di antara kita yang malah merayakan tahun baru masehi dengan melakukan aktivitas maksiat. Kasihan deh!
Boys and gals, sebenarnya dalam pandangan Islam, untuk mengevaluasi diri selama ini udah ada tuntunannya dalam al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt. (yang artinya): “Demi Waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS al-Ashr [103] 1-3)
Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.” (HR Ahmad)
Orang yang pasti beruntung adalah orang yang mencari kebenaran, orang yang mengamalkan kebenaran, orang yang mendakwahkan kebenaran dan orang yang sabar dalam menegakan kebenaran. Mengatur waktu dengan baik agar tidak sia-sia adalah dengan mengetahui dan memetakan, mana yang wajib, sunah, haram, mana yang makruh, en mana yang mubah. Intinya kudu taat sama syariat Islam.
Itu artinya perubahan waktu ini harusnya kita jadikan momentum (saat yang tepat) untuk mengevaluasi diri. Jangan malah hura-hura bergelimang kesenangan di malam tahun baru masehi. Sudahlah merayakannya haram, eh, caranya maksiat pula. Halah, apa itu nggak dobel-dobel dosanya? Naudzubillahi min dzalik!
Sobat muda muslim, nggak baik hura-hura, lho. Hindari deh ya. Jangan sampe lupa diri. Itu sebabnya, Rasulullah saw. mewanti-wanti tentang dua hal yang bikin manusia tuh lupa diri. Sabda beliau saw.: “Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)
Nggak baik kalo kita nyesel seumur-umur akibat kita menzalimi diri sendiri. Sebab, kita nggak bakalan diberi kesempatan ulang untuk berbuat baik atau bertobat, bila kita udah meninggalkan dunia ini. Firman Allah subhanahu wata'ala:
“Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan bertaubat lagi.” (QS ar-Rûm [30]: 57)
Jadi, nggak usah deh kita ikutan heboh merayakan tahun baru masehi. Kita evaluasi diri, dan itu dilakukan setiap hari biar lebih seru. Jangan nunggu pergantian tahun baru masehi, entar tobat belum eh udah mati duluan. Rugi berat! Yuk kita tingkatin terus amal baik kita, jangan cuma menumpuk dosa. Hari demi hari harus lebih baik. Yup, mari mulai sekarang juga untuk evaluasi diri.