Fitnah takfir (Bermudah-mudahan dalam mengafirkan) sesama muslim merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai oleh semua pihak. Karena, cepat atau lambat ia akan menghancurkan masyarakat muslim, dari lingkup yang paling kecil (keluarga), hingga yang paling besar (Negara). Tak heran, bila terkadang kita dikejutkan oleh sebuah fenomena; ada seorang anak yang mengafirkan ayah dan ibunya. Mengafirkan adik, kakak dan saudara-saudaranya. Bahkan mengafirkan pemerintah dan masyarakatnya. Tak berhenti sampai di situ. Ternyata sikap bermudah-mudahan dalam mengafirkan sesama muslim itu berujung pada keyakinan halalnya darah-darah mereka.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan semua itu, sebagaimana dalam sabdanya:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: ‘Hai kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari sahabat Abdullah bin ‘Umar. Disahihkan oleh Asy Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap Musnad Al Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Hendaknya pula berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (lihat Ad-Durar As-Saniyyah 8/217).
Fitnah Takfir dalam Sejarah
Bila merunut sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan dalam mengafirkan sesama muslim bukan sesuatu yang baru. Ia telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij, (lihat Fitnatut Takfir, hlm. 12).
Korban pengafiran mereka yang pertama adalah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersama beliau, hingga berujung pada pembunuhan terhadap menantu mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Korban berikutnya adalah Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan juga berujung dengan dibunuhnya beliau. Semakin jauh perjalanan mereka, hingga akhirnya berani mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Lihat Fathul Bari 12/296-297 dan Al Bidayah wan Nihayah 7/281). Betapa ngerinya fitnah takfir ini. Ia dapat membentuk pribadi yang lembut menjadi kasar, yang santun menjadi beringas, bahkan haus darah kaum muslimin. Tak heran, bila mereka (Khawarij) mendapatkan kemarahan yang besar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
فَإِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij, pen), bunuhlah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747 dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib).
Akan tetapi perintah membunuh ini bukan atas setiap pribadi atau kelompok, melainkan atas pemerintah kaum muslimin.
Mengapa Fitnah Takfir Itu Bergulir hingga Hari Ini?
Bergulirnya fitnah takfir hingga hari ini mempunyai banyak sebab. Di antaranya:
- Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
- Memahami agama tidak dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.
- Jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat.
- Adanya kecemburuan (ghirah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Lihat Fitnatut Takfir, hlm. 13 dan 19 Zhahiratut-Tabdi’’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hlm. 14).
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?
Di antara masalah besar yang rawan terjadi padanya fenomena takfir adalah anggapan bahwa pihak tertentu telah berhukum dengan selain hukum Allah, yang dengan itu akhirnya dijatuhkan fonis kafir kepadanya, bahkan halal darahnya.
Sebut saja para penguasa negeri-negeri muslim dewasa ini, tidak sedikit dari mereka yang di fonis kafir oleh orang-orang yang hanyut dalam fitnah takfir (baca: Jama’atut Takfir) dengan klaim bahwa mereka telah berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga boleh diberontak dan halal darahnya.
Padahal apa yang terjadi dewasa ini tak ubahnya sebagai ulangan sejarah yang dilakukan oleh kelompok sesat Khawarij terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mereka klaim telah berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga diberontak oleh mereka dan dibunuh.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Ma`idah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam –pen), namun ia berhak mendapatkan azab yang pedih. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman. (Lihat Adhwa-ul Bayan 2/104).
Tidak Setiap Ucapan/ Perbuatan Kekafiran, Pelakunya Di Fonis Kafir?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidaklah setiap orang yang mengatakan kekafiran harus difonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi padanya syarat-syarat pengafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi fonis tersebut. Misalnya, seseorang mengatakan: ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal’, karena baru masuk Islam (belum tahu ilmunya –pen), atau karena hidup di daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh dakwah –pen). Atau mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam …, maka (orang tersebut) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah l berfirman:
“Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisaa’: 165). Dan Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini.” (Lihat Majmu’ Fatawa 35/165-166).
Buah dari Fitnah Takfir
Fitnah takfir yang merupakan warisan kelompok Khawarij ini pun dijadikan oleh Jamaah Takfir dari berbagai macam jenisnya seperti NII dan lainnya sebagai alasan untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin.
Penutup
Berangkat dari sini, marilah kita semua berhati-hati dari fitnah takfir dan tidak bermudah-mudahan dalam permasalahan tersebut. Tiada jalan keselamatan melainkan dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, senantiasa berpijak di atas Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan berusaha memahami keduanya dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Kemudian mengamalkan sesuai dengan bimbingan para ulama yang meniti jejak mereka dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bish shawab…
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: ‘Hai kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari sahabat Abdullah bin ‘Umar. Disahihkan oleh Asy Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap Musnad Al Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Hendaknya pula berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (lihat Ad-Durar As-Saniyyah 8/217).
Fitnah Takfir dalam Sejarah
Bila merunut sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan dalam mengafirkan sesama muslim bukan sesuatu yang baru. Ia telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij, (lihat Fitnatut Takfir, hlm. 12).
Korban pengafiran mereka yang pertama adalah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersama beliau, hingga berujung pada pembunuhan terhadap menantu mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Korban berikutnya adalah Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan juga berujung dengan dibunuhnya beliau. Semakin jauh perjalanan mereka, hingga akhirnya berani mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Lihat Fathul Bari 12/296-297 dan Al Bidayah wan Nihayah 7/281). Betapa ngerinya fitnah takfir ini. Ia dapat membentuk pribadi yang lembut menjadi kasar, yang santun menjadi beringas, bahkan haus darah kaum muslimin. Tak heran, bila mereka (Khawarij) mendapatkan kemarahan yang besar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
فَإِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij, pen), bunuhlah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747 dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib).
Akan tetapi perintah membunuh ini bukan atas setiap pribadi atau kelompok, melainkan atas pemerintah kaum muslimin.
Mengapa Fitnah Takfir Itu Bergulir hingga Hari Ini?
Bergulirnya fitnah takfir hingga hari ini mempunyai banyak sebab. Di antaranya:
- Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
- Memahami agama tidak dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.
- Jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat.
- Adanya kecemburuan (ghirah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Lihat Fitnatut Takfir, hlm. 13 dan 19 Zhahiratut-Tabdi’’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hlm. 14).
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?
Di antara masalah besar yang rawan terjadi padanya fenomena takfir adalah anggapan bahwa pihak tertentu telah berhukum dengan selain hukum Allah, yang dengan itu akhirnya dijatuhkan fonis kafir kepadanya, bahkan halal darahnya.
Sebut saja para penguasa negeri-negeri muslim dewasa ini, tidak sedikit dari mereka yang di fonis kafir oleh orang-orang yang hanyut dalam fitnah takfir (baca: Jama’atut Takfir) dengan klaim bahwa mereka telah berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga boleh diberontak dan halal darahnya.
Padahal apa yang terjadi dewasa ini tak ubahnya sebagai ulangan sejarah yang dilakukan oleh kelompok sesat Khawarij terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mereka klaim telah berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga diberontak oleh mereka dan dibunuh.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Ma`idah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam –pen), namun ia berhak mendapatkan azab yang pedih. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman. (Lihat Adhwa-ul Bayan 2/104).
Tidak Setiap Ucapan/ Perbuatan Kekafiran, Pelakunya Di Fonis Kafir?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidaklah setiap orang yang mengatakan kekafiran harus difonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi padanya syarat-syarat pengafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi fonis tersebut. Misalnya, seseorang mengatakan: ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal’, karena baru masuk Islam (belum tahu ilmunya –pen), atau karena hidup di daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh dakwah –pen). Atau mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam …, maka (orang tersebut) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah l berfirman:
“Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisaa’: 165). Dan Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini.” (Lihat Majmu’ Fatawa 35/165-166).
Buah dari Fitnah Takfir
Fitnah takfir yang merupakan warisan kelompok Khawarij ini pun dijadikan oleh Jamaah Takfir dari berbagai macam jenisnya seperti NII dan lainnya sebagai alasan untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin.
Penutup
Berangkat dari sini, marilah kita semua berhati-hati dari fitnah takfir dan tidak bermudah-mudahan dalam permasalahan tersebut. Tiada jalan keselamatan melainkan dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, senantiasa berpijak di atas Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan berusaha memahami keduanya dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Kemudian mengamalkan sesuai dengan bimbingan para ulama yang meniti jejak mereka dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bish shawab…